Memori Mesin Ketik Manual
ENAM puluh ribu rupiah untuk kontraprestasi empat buah tulisan. Itu yang saya dapat dari menulis reportase kegiatan sebanyak empat hingga enam alinea panjangnya, pada rubrik “Warta Jamaah” di tabloid Jum’at yang terbit seminggu sekali. Saya mengambilnya sendiri di kantor redaksi tabloid itu antara tahun 1992-1995 di lantai dasar Masjid Istiqlal Jakarta. Alasan mengambil sendiri, disamping jumlah honor agak lumayan, saya bisa melaksanakan shalat Dzuhur di depan mimbar khatib dan merasakan kedamaian di masjid termegah se-Asia Tenggara itu. Untuk tahun-tahun indah tersebut, satu buah tulisan sebesar Rp 15 ribu berarti cukup untuk membeli tiket kereta api ekonomi pulang ke Solo dari Jakarta.
Di tabloid Jum’at, rubrik “Warta Jamaah” berisi kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh ormas, kelompok pengajian, sekolah dan institusi lainnya. Tulisan reportasenya singkat, yang penting memenuhi unsur berita 5 W+1H. Ditulis panjang pun boleh, hanya honornya tetap sama Rp 15 ribu. Makanya saya hanya mengirim reportase pendek saja.
Sebelum mengambil sendiri honor, saya kontak via telepon ke redaksi agar honor-honor tulisan ditahan dulu, yang nanti akan saya ambil saat ada acara di Jakarta. Biasanya, sekalipun hanya satu tulisan reportase yang dimuat, selang beberapa hari tiba kiriman wesel dengan angka nominal Rp 15 ribu. Pada bagian kolom berita di wesel ditulis: honor tulisan … (judul reportase)… (edisi terbit tabloid)… (ucapan terima kasih). Kala itu, uang sebesar Rp 15 ribu sudah bisa untuk mentraktir pacar nonton di bioskop ternama Solo Teater yang terletak di Kompleks Taman Sriwedari Solo.
Selain tabloid Jumat, beberapa kali artikel pendek saya dimuat di rubrik opini mahasiswa harian Jawa Pos. Honornya Rp 25 ribu dan dikirim via wesel. Honor sebesar itu, sudah cukup untuk membayar satu bulan indekost dengan kamar yang lumayan luas dan bagus di kota Solo. Sedangkan untuk mentraktir makan, uang sebesar itu cukup untuk lima orang makan enak “sego liwet” di bilangan Keprabon.
Tahun-tahun 1990-an, rubrik opini mahasiswa di Jawa Pos memiliki segmen tersendiri di kalangan mahasiswa Jatim, Jateng dan DIY. Modus kerjanya, redaksi terlebih dahulu melempar sebuah tema tertentu untuk ditanggapi mahasiswa. Mula-mula ada empat orang mahasiswa berikut opininya yang dimuat. Selang beberapa waktu hanya dua orang mahasiswa yang dimuat opininya. Rubrik khusus ini, tampil di halaman opini bersama artikel utama yang ditulis para pakar dan editorial koran bersangkutan “Jati Diri”.
Di samping itu, tulisan saya juga pernah muncul di harian Pikiran Rakyat Bandung, Majalah Media Dakwah (diterbitkan Dewan Dakwah Indonesia), Majalah Rindang(diterbitkan Kanwil Depag Jawa Tengah) dan sebagainya. Kesemua tulisan itu diketik dengan mesin ketik manual. Kadang kalau pitanya sudah lama dipakai, hasil tulisan paling atas jelas dan ke bawahnya semakin tak jelas. Yang penting si redaksi masih bisa membaca maksud tulisan!
***
Tahun 1996, saya hijrah ke Jakarta. Menjadi Ketua Bidang Diklat Badan Koordinasi Nasional Lembaga Pers Mahasiswa PB HMI (Bakornas LAPMI). Rekan sesama staf ketua, yaitu M Alfan Alfian yang menjabat sebagai Ketua Bidang Penerbitannya. Berkantor di Jalan Diponegoro 16-A Menteng Jakarta Pusat yang sekaligus jadi kediaman para aktivis PB HMI. Salah seorang staf lain di Bakornas LAPMI periode itu yang kemudian sangat terkenal yakni Moammar Emka. Penulis buku laris “Jakarta Undercover” .
Sebagai aktivis yang masih baru di Jakarta, saya dan M Alfan Alfian kala itu merasakan betul bagaimana rasanya “tidak punya uang sama sekali” di kantong. Untuk mensiasati agar dapat uang dan tetap survive, terpaksalah kami memutar otak mengatasinya. Menulis adalah salah satu jalan keluarnya. Dan motif agar dapat uang inilah yang paling mendasar, memaksa dan dipaksa untuk menulis.
Dengan menggunakan dua buah komputer “jangkrik” yang berada di lantai dua Jalan Diponegoro 16-A, setelah lewat tengah malam saat aktivis yang lain tertidur pulas, beberapa aktivis bergantian menulis artikel opini untuk dikirim ke media massa. Komputer “jangkrik” ini masih menggunakan dua buah disket cukup besar: satu buah sistem operasi DOS dan satunya lagi untuk menyimpan dokumen. Program yang digunakan yakni WS (WordStar) yang kala itu sangat populer. Sekalipun dulu terampil menggunakan WS, dengan menekan tombol ini dan itu untuk membuat perataan tulisan, menebalkan kata, memberi garis bawah kalimat dan sebagainya, sekarang semuanya sudah lupa.
Artikel-artikel M Alfan Alfian dimuat di harian Kompas, Media Indonesia dan Pelita. Sedangkan artikel saya pernah dimuat di harian Merdeka (BM Diah), Media Indonesia,Bisnis Indonesia, Pelita dan harian sore Terbit. Masih ada beberapa nama lain di PB HMI saat itu yang gemar menulis dan tulisannya dimuat media massa, antara lain: Mokhsen Idris Sirfefa, Badaruddin Gailia, Syamsul Qomar dan Anas Urbaningrum.
Berkali-kali mengirim artikel opini ke Kompas, tulisan saya acap dikembalikan dengan disertai catatan: tidak ada tempat. Alfan Alfian lebih beruntung, sekalipun awalnya artikel opini dia juga acap dikembalikan. Namun karena konsisten, akhirnya sekali dimuat selanjutnya lancar-lancar saja. Kalaupun saya dapat “honor” dari Kompas, bukan karena artikel yang dimuat namun karena pernah menjadi pemenang Teka-Teki Silang (TTS) edisi Rabu –dulu TTS Kompas hadir setiap Rabu dan Minggu– dan “pengganti transport” saat aktif menghadiri diskusi rutin di Forum Indonesia Muda (FM) di gedung Kompas Palmerah.
Sebagai konsekwensi, dan sayang kerja semalaman ditolak redaktur opini sebuah harian maka artikel yang sama segera saya kirim via pos ke harian lain, dalam hal ini Merdeka. Sejak dulu saya membiasakan untuk tidak menulis artikel yang sama ke lebih dari satu penerbitan. Jadi menunggu konfirmasi “penolakan” dulu, baru berani mengirim artikel bersangkutan ke media lain. Karena lazimnya di suatu media alasan penolakan lantaran “tidak ada tempat”, maka biasanya di media lain akan dimuat.
Berkaitan dengan lamanya menunggu konfirmasi dari tulisan yang kita kirim ke sebuah media cetak, perlu saya ingatkan kepada penulis-penulis muda: reputasi kepenulisan seseorang akan ditentukan dan dihargai oleh integritas si penulis sendiri. Jangan sekali-sekali mengirim sebuah artikel yang sama ke beberapa media. Termasuk memodifikasi judul atau pengurangan dan penambahan isi artikel. Juga memplagiat tulisan orang.
Sekali terdeteksi sebuah artikel itu dimuat lebih dari satu media (sekalipun dengan jangka waktu berbeda) atau judul dan isi artikel sudah dimodifikasi atau artikel itu hasil plagiat yang telah dimodifikasi, maka lonceng kematian sebagai pengarang akan segera berdentang. Dan nama si penulis akan masuk “daftar hitam” sebagai penulis nakal untuk selamanya.
Di harian Merdeka, artikel-artikel saya yang dimuat tentang politik dan budaya. Sebuah artikel, akan mendapat honor Rp 100 ribu untuk penulis pemula seperti saya. Ngambil honorya di daerah Cikupa Tangerang. Cukup jauh, dan harus berganti-ganti kendaraan umum untuk mencapai kantor redaksi itu. Dan harus menunggu sebulan semenjak artikel dimuat.
Selain harian Merdeka, harian sore Terbit juga memberi honor sebesar itu untuk setiap artikel yang dimuat. Saya juga mengambil sendiri honornya di kantor redaksi Terbit di daerah Kawasan Industri Pulogadung Jakarta Timur. Sedangkan honor sebuah artikel diMedia Indonesia dan Bisnis Indonesia pada tahun 1996-1997-an telah mencapai Rp 200 hingga Rp 250 ribu.
Dari pengalaman menulis yang saya kemukakan di atas, menulis di media cetak dengan mengharap imbalan honor atau atas nama eksistensi diri musti “dipaksakan”. Kisah saya dengan M Alfan Alfian menjelang reformasi yang terjepit karena tidak punya uang untuksurvive di Jakarta telah membuktikan, kalau dipaksakan –sekalipun awalnya ditolak-tolak redaktur media cetak– pada saatnya tulisan kita akan dimuat oleh media cetak. Dari pengembalian tulisan disertai alasan dari si redaktur, lama-lama kita akan tahu karakter media itu dan sejauhmana mutu tulisan yang kita buat. Selamat mencoba.