Jumat, 23 Maret 2012

"Keresahan Masyarakat"

Kondisi masyarakat Aceh terutama di Pidie sangat memprihatinkan. bagaimana tidak, keluhan yang sangat mendasar saat ini yang dirasakan adalah tentang perekonomian yang melemah, karena penghasilan- penghasilan dari masyarakat tidak lagi sesuai yang di harapkan menyangkut hasilnya. Misalnya Padi dan hasil kebun lainnya seperti Cokelat, Pinang, Sawit yang harga nya sangat tidak logis untuk di pasarkan.

Yang lebih parah lagi, jika masyarakat membeli sesuatu di pasar harganya melambung tinggi yang tidak sanggup di jangkau, sehingga lebih banyak pengeluaran dari pada pemasukan yang di akibatkan tidak stabilnya harga pasaran.

Isu yang merembak sekarang di permukaan menyangkut kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) yang direncanakan pada 1 April 2012 oleh Presiden.

Jika kita lihat dari segi ekonomi, itu wajar karena bisa menyelamatkan kondisi perekonomian. Namun, disisi yang lain, justru yang mengambil manfaat dari ini semua adalah masyarakat kelas atas (PNS/Kontraktor dan Pengusaha). Sementara nasib masyarakat menengah ke bawah lah yang menjadi korban akibat ulah- ulah ini.

Oleh karena itu, saya berharap seharusnya Pemerintah bisa menjadi pengontrol masyarakat dalam berbagai hal, termasuk ekonomi. dan kepada pihak- pihak yang merasa lebih dari masyarakat biasa, untuk bisa memakai hati dalam melihat kondisi saudara- saudara kita yang kondisi perekonomian berada pada garis terbawah.

Oleh :
Kabid Keummatan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Sigli
(Ijoel Lala)
READ MORE -

Rabu, 21 Maret 2012


Antara; pemerintah dan nasib kami (HMI)
oleh
Fahmi Ubit
Sudah 65 tahun kami mengabdi untuk-mu semenjak kami dilahirkan.
Sudah tiga rezim kami hidup dalam negara yang suci dari dosa, bebas dari kemunafikan serta kebohongan ini.
Kenapa kami kamu asingkan?
Sebenarnya apa sih yang kamu harapkan dengan perlakuan terhadap kami selama ini?
Kamu pernah berfikir tidak, bahwa kami ini bukan anak yang bodoh !!!
Kami ini manusia juga seperti kamu yang membutuhkan pendidikan, makan, bahkan tempat tinggal, walau cuma di gubuk tua yang kamu berikan, namun bagi kami itu sudah cukup.
Kenapa !!!
Karena kami ini bersyukur kepada Allah, bahwa semua ini adalah urusan duniawi yang tidak kami bawa sampai mati.
Padahal kami ini merupakan anak kandung mu juga lho!?
Kenapa juga dengan teganya kamu menyampingkan kami dengan saudara yang lain !
Apakah keberadaan kami dalam keluarga ini bisa membuat keharmonisan berantakan?
Atau…..
Jangan-jangan yang sudah-sudah kami lakukan ini merupakan sebuah hal yang memang benar sehingga membuat mu tidak tenang dalam melakukan manipulasi saudara-saudara kami yang tidak bisa merasakan indahnya pendidikan seperti mu
Semua ini bukan semata-mata untuk kepentingan kami.
Kami disini hanya semata-mata OB mereka yang tidak di gaji seperti mu.
Tempat kami berfikir untuk nasib saudara-saudara kami juga bukan seperti tempat mu yang ber-AC dan wangi yang segar.
Kami ini bukan segerombolan anak gelandangan seperti yang kamu duga.
Kalau pun dugaan mu itu benar, jangan hokum kami seperti ini.
Apakah kamu ini bukan makhluk ciptaan Allah yang sama seperti kami?
Tolonglah kamu sempatkan sedikit waktu untuk berfikir kepada kami ini.
Karena sebentar lagi, ibu kami akan menentukan siapa ayah yang tepat untuk memimpin kami dalam menjalankan kehidupan yang kejam ini.
Kami berdo’a semoga pilihan ibu kami tepat dalam memilih calon ayah kami yang baru, sehingga mampu membimbing dan membahagiakan kami
Markas Mardhatillah Sigli (02:42) Rabu, 21 Maret 2012 
READ MORE -

Selasa, 20 Maret 2012

Mengenang Sahabat Kita, "aktivis perempuan Sigli"

Almarhumah Cut Nurul Maisyura
seorang mahasiswa yang mempunyai jiwa dan karakter pendiam dan cool. dia juga merupakan seorang aktivis perempuan yang sedang mencari jati diri di sebuah organisasi dengan harapan dan keinginan yang begitu besar yang sedang dia rintih, namun, belum lama dia mengabdi untuk ummat, sang Pencipta mengambil dia ditengah-tengah perjalanannya dalam meniti kariernya dalam dunia aktivis.


tiba-tiba disaat training yang dilakukan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Bersama Cabang Sigli, dia mengalami sedikit penyakit yang membuat dia dilarikan ke rumah sakit.


penyakit yang dia alami bukan lah sebuah hal yang baru, namun, oenyakit tersebut sudah ada semenjak dulu dia rasa. malam itu peserta training pidah lokasi dari pidie jaya ke beureunuen dengan permasalahan lingkungan sekitar arena.


orang tua nya sudah beberapa kali melarangnya untuk tidak hadir ke arena untuk membantu kawan2 di HMI dalam menyukseskan training tersebut, mengingat kondisi kesehatannya yang mengkhawatirkan, namum, karen kecintaannya terhadap HMI, maka dia memberanikan diri dengan membulatkan tekad untuk tetap datang.


dia juga merupakan kandidat terkuat ketua umum komisariat Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Jabal Ghafur. namun, apa hendak dikata, takdirnya dalam berjuang unutuk memwujudkan impiannya berhenti ditengah jalan karena Tuhan telah mengambilnya segera.

dia adalah seorang Cut Nurul Maisyura.


selamat jalan kawan, do'a kami seluruh kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Sigli
senantiasa tercurahkan untuk mu. rest in peace

READ MORE - Mengenang Sahabat Kita, "aktivis perempuan Sigli"

Memori Mesin Ketik Manul
Memori Mesin Ketik Manual
ENAM puluh ribu rupiah untuk kontraprestasi empat buah tulisan. Itu yang saya dapat dari menulis reportase kegiatan sebanyak empat hingga enam alinea panjangnya, pada rubrik “Warta Jamaah” di tabloid Jum’at yang terbit seminggu sekali. Saya mengambilnya sendiri di kantor redaksi tabloid itu antara tahun 1992-1995 di lantai dasar Masjid Istiqlal Jakarta. Alasan mengambil sendiri, disamping jumlah honor agak lumayan, saya bisa melaksanakan shalat Dzuhur di depan mimbar khatib dan merasakan kedamaian di masjid termegah se-Asia Tenggara itu. Untuk tahun-tahun indah tersebut, satu buah tulisan sebesar Rp 15 ribu berarti cukup untuk membeli tiket kereta api ekonomi pulang ke Solo dari Jakarta.
Di tabloid Jum’at, rubrik “Warta Jamaah” berisi kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh ormas, kelompok pengajian, sekolah dan institusi lainnya. Tulisan reportasenya singkat, yang penting memenuhi unsur berita 5 W+1H. Ditulis panjang pun boleh, hanya honornya tetap sama Rp 15 ribu. Makanya saya hanya mengirim reportase pendek saja.
Sebelum mengambil sendiri honor, saya kontak via telepon ke redaksi agar honor-honor tulisan ditahan dulu, yang nanti akan saya ambil saat ada acara di Jakarta. Biasanya, sekalipun hanya satu tulisan reportase yang dimuat, selang beberapa hari tiba kiriman wesel dengan angka nominal Rp 15 ribu. Pada bagian kolom berita di wesel ditulis: honor tulisan … (judul reportase)… (edisi terbit tabloid)… (ucapan terima kasih). Kala itu, uang sebesar Rp 15 ribu sudah bisa untuk mentraktir pacar nonton di bioskop ternama Solo Teater yang terletak di Kompleks Taman Sriwedari Solo.
Selain tabloid Jumat, beberapa kali artikel pendek saya dimuat di rubrik opini mahasiswa harian Jawa Pos. Honornya Rp 25 ribu dan dikirim via wesel. Honor sebesar itu, sudah cukup untuk membayar satu bulan indekost dengan kamar yang lumayan luas dan bagus di kota Solo. Sedangkan untuk mentraktir makan, uang sebesar itu cukup untuk lima orang makan enak “sego liwet” di bilangan Keprabon.
Tahun-tahun 1990-an, rubrik opini mahasiswa di Jawa Pos memiliki segmen tersendiri di kalangan mahasiswa Jatim, Jateng dan DIY. Modus kerjanya,  redaksi  terlebih dahulu melempar sebuah tema tertentu untuk ditanggapi mahasiswa. Mula-mula ada empat orang mahasiswa berikut opininya yang dimuat. Selang beberapa waktu hanya dua orang mahasiswa yang dimuat opininya. Rubrik khusus ini, tampil di halaman opini bersama artikel utama yang ditulis para pakar dan editorial koran bersangkutan “Jati Diri”.
Di samping itu, tulisan saya juga pernah muncul di harian Pikiran Rakyat Bandung, Majalah Media Dakwah (diterbitkan Dewan Dakwah Indonesia), Majalah Rindang(diterbitkan Kanwil Depag Jawa Tengah) dan sebagainya. Kesemua tulisan itu diketik dengan mesin ketik manual. Kadang kalau pitanya sudah lama dipakai, hasil tulisan paling atas jelas dan ke bawahnya semakin tak  jelas. Yang penting si redaksi masih bisa membaca maksud tulisan!
***
Tahun 1996, saya hijrah ke Jakarta. Menjadi Ketua Bidang Diklat Badan Koordinasi Nasional Lembaga Pers Mahasiswa PB HMI (Bakornas LAPMI). Rekan sesama staf ketua, yaitu M Alfan Alfian yang menjabat sebagai Ketua Bidang Penerbitannya. Berkantor di Jalan Diponegoro 16-A Menteng Jakarta Pusat yang sekaligus jadi kediaman para aktivis PB HMI. Salah seorang staf lain di Bakornas LAPMI periode itu yang kemudian sangat terkenal yakni Moammar Emka. Penulis buku laris “Jakarta Undercover” .
Sebagai aktivis yang masih baru di Jakarta, saya dan M Alfan Alfian kala itu merasakan betul bagaimana rasanya “tidak punya uang sama sekali” di kantong. Untuk mensiasati agar dapat uang dan tetap survive, terpaksalah kami memutar otak mengatasinya. Menulis adalah salah satu jalan keluarnya. Dan motif agar dapat uang inilah yang paling mendasar, memaksa dan dipaksa untuk menulis.
Dengan menggunakan dua buah komputer “jangkrik” yang berada di lantai dua Jalan Diponegoro 16-A, setelah lewat tengah malam saat aktivis yang lain tertidur pulas, beberapa aktivis bergantian menulis artikel opini untuk dikirim ke media massa. Komputer “jangkrik” ini masih menggunakan dua buah disket cukup besar: satu buah sistem operasi DOS dan satunya lagi untuk menyimpan dokumen. Program yang digunakan yakni WS (WordStar) yang kala itu sangat populer. Sekalipun dulu terampil menggunakan WS, dengan menekan tombol ini dan itu untuk membuat perataan tulisan, menebalkan kata, memberi garis bawah kalimat dan sebagainya, sekarang semuanya sudah lupa.
Artikel-artikel M Alfan Alfian dimuat di harian Kompas, Media Indonesia dan Pelita. Sedangkan artikel saya pernah dimuat di harian Merdeka (BM Diah), Media Indonesia,Bisnis Indonesia, Pelita dan harian sore Terbit. Masih ada beberapa nama lain di PB HMI saat itu yang gemar menulis dan tulisannya dimuat media massa, antara lain: Mokhsen Idris Sirfefa, Badaruddin Gailia, Syamsul Qomar dan Anas Urbaningrum.
Berkali-kali mengirim artikel opini ke Kompas, tulisan saya acap dikembalikan dengan disertai catatan: tidak ada tempat. Alfan Alfian lebih beruntung, sekalipun  awalnya artikel opini dia  juga acap dikembalikan. Namun karena konsisten, akhirnya sekali dimuat selanjutnya lancar-lancar saja. Kalaupun saya dapat “honor” dari Kompas, bukan karena artikel yang dimuat namun karena pernah menjadi pemenang Teka-Teki Silang (TTS) edisi Rabu –dulu TTS Kompas hadir setiap Rabu dan Minggu– dan “pengganti transport” saat aktif menghadiri diskusi rutin di Forum Indonesia Muda (FM) di gedung Kompas Palmerah.
Sebagai konsekwensi, dan sayang kerja semalaman ditolak redaktur opini sebuah harian maka artikel yang sama segera saya kirim via pos ke harian  lain, dalam hal ini Merdeka. Sejak dulu saya membiasakan untuk tidak menulis artikel yang sama ke lebih dari satu penerbitan. Jadi menunggu konfirmasi  “penolakan” dulu, baru berani mengirim artikel bersangkutan ke media lain.  Karena lazimnya di suatu media alasan penolakan lantaran “tidak ada tempat”, maka biasanya di media lain akan dimuat.
Berkaitan dengan lamanya menunggu konfirmasi dari tulisan yang kita kirim ke sebuah media cetak,  perlu saya ingatkan kepada penulis-penulis muda: reputasi kepenulisan seseorang akan ditentukan dan dihargai oleh integritas si penulis sendiri. Jangan sekali-sekali mengirim sebuah artikel yang sama ke beberapa media. Termasuk memodifikasi judul atau pengurangan dan penambahan isi artikel. Juga memplagiat tulisan orang.
Sekali terdeteksi sebuah artikel itu dimuat lebih dari satu media (sekalipun dengan jangka waktu berbeda) atau judul dan isi artikel sudah dimodifikasi atau artikel itu hasil plagiat yang telah dimodifikasi, maka lonceng kematian sebagai pengarang akan segera berdentang. Dan nama si penulis akan masuk “daftar hitam” sebagai penulis nakal untuk selamanya.
Di harian Merdeka, artikel-artikel saya yang dimuat tentang politik dan budaya. Sebuah artikel, akan mendapat honor Rp 100 ribu untuk penulis pemula seperti saya. Ngambil honorya di daerah Cikupa Tangerang. Cukup jauh, dan harus berganti-ganti kendaraan umum untuk mencapai kantor redaksi itu. Dan harus menunggu sebulan semenjak artikel dimuat.
Selain harian Merdeka, harian sore Terbit juga memberi honor sebesar itu untuk setiap artikel yang dimuat. Saya juga mengambil sendiri honornya di kantor redaksi Terbit di daerah Kawasan Industri Pulogadung Jakarta Timur. Sedangkan honor sebuah artikel diMedia Indonesia dan Bisnis Indonesia pada tahun 1996-1997-an telah mencapai Rp 200 hingga Rp 250 ribu.
Dari pengalaman menulis yang saya kemukakan di atas, menulis di media cetak dengan mengharap imbalan honor atau atas nama eksistensi diri musti “dipaksakan”. Kisah saya dengan M Alfan Alfian menjelang reformasi yang terjepit karena tidak punya uang untuksurvive di Jakarta telah membuktikan, kalau dipaksakan –sekalipun awalnya ditolak-tolak redaktur media cetak– pada saatnya tulisan kita akan dimuat oleh media cetak. Dari pengembalian tulisan disertai alasan dari si redaktur, lama-lama kita akan tahu karakter media itu dan sejauhmana mutu tulisan yang kita buat. Selamat mencoba.
READ MORE -

Minggu, 18 Maret 2012


Masih Adakah Orang Kaya Liberal?
Sebuah pertanyaan yang sarat akan harapan rakyat kecil.
Bahkan kaum progresif dan humanis sekuler yang atheis atau agnostik atau yang tidak memiliki agama sekalipun, mereka semua percaya dan bersama-sama berusaha membantu mereka yang kurang beruntung. Dan semua sepakat, yang demikian itu adalah tindakan baik dan terpuji.
Masih Adakah Orang Kaya Liberal?

Kemana aliran kekayaan mereka, dimana muara penimbunan pernak pernik harta benda mereka, dimana orang-orang kaya liberal menghabiskan secara bebas berjuta-juta, bahkan bertrilyun-trilyun uang yang katanya untuk membantu orang miskin, memberi makan anak-anak yatim, menciptakan lapangan kerja bagi pengangguran, dan menciptakan program-program sosial untuk mengangkat martabat masyarakat tertindas?

Jika engkau bertanya kepada orang banyak tentangnya, mereka pasti akan mengatakan, bahwa makhluk seperti itu tidak ada. Bahkan sebagian akan bilang, makhluk yang engkau cari itu tidak akan pernah ada.

Dalam buku Galistan, penyair Iran Saadi pernah menulis;
Kaum liberal tidak punya uang.
Kaum kaya tidak punya kemurahan hati.

Namun, Saadi, tahu bahwa ada pengecualian ketika melukiskan kondisi demikian, dan terbukti banyak fakta yang menyebutkan tentang ini dalam bukunya dibagian lain.

Ya, kita masih bisa menyaksikan ada beberapa orang kaya yang murah hati. Mereka menyumbang, beramal dan bekerja untuk mengangkat derajat masyarakat tertindas.

Tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang rendah hati dan orang saleh yang senantiasa menyembunyikan aktivitas dan tindakan mulia mereka. Mereka tidak ingin memvulgarkan adegan-adegan perbuatan baik mereka dihadapan hiruk pikuk hidup yang mencekam. Mereka adalah orang yang rendah hati dan murah hati.

Jika kita ingin mengangkat derajat kehidupan masyarakat tertindas, kita tidak harus menunggu komando dari orang kaya, atau menanti sampai sejumlah besar orang kaya berduyun-duyun bermurah hati dan berbagi kekayaan mereka.

Kelas menengah, kelas pekerja, dan bahkan orang-orang miskin tertindas sekalipun, harus mulai bekerja sama untuk membangun ekonomi lokal bahkan ekonomi dunia secara bersama-sama. Dan, sekali lagi, kita tidak harus menunggu komando dan uluran tangan kemurahan hati orang-orang kaya untuk mendermakan kekayaan mereka. Kita semua bisa!.

Sayangnya, banyak diantara masyarakat kelas menengah yang justru tidak ingin membantu orang miskin lainnya.

Satu hari, seorang aktivis politik pernah berkata, "Banyak orang kelas menengah memberitahu kepada saya, ‘saya akan membantu orang miskin kalau saya sudah kaya’. Sayangnya, kebanyakan dari mereka, mengejar uang untuk hidup mereka sendiri dan mereka tidak pernah menjadi kaya, dan karena itu, mereka tidak akan pernah membantu orang miskin."

Jadi apa akar masalahnya?

Satu akar masalah yang tidak pernah dipungkiri adalah sebuah realitas, bahwa kebanyakan orang, tidak berempati kepada sesamanya. Mereka serakah dan egois.

Si kaya yang memiliki dunia tidak dan kurang peduli dengan nasib si miskin yang tidak memiliki dunia!.

Dalam Islam, ada konsep yang disebut jihad an-nafs, yang secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai "perjuangan melawan diri sendiri" atau "perjuangan melawan keinginan diri yang lebih rendah."

Dalam jihad an-nafs, umat Islam dituntut berusaha untuk menjadi hamba Allah tanpa pamrih dan menjadi pembantu altruistik bagi mereka yang tertindas.

Dan Islam bukan agama yang hanya berbicara tentang altruisme.

Konsep berbagi kekayaan kepada sesama adalah konsep universal dan ada dalam berbagai budaya bangsa di dunia, bahkan walaupun hanya sedikit orang yang mempraktekkan apa yang mereka khotbahkan sehari-hari.

Memang, semua agama-agama dunia memerintahkan pengikutnya untuk, bermurah hati dan memberikan sedekah kepada yang membutuhkan.

Dan dalam Islam pun demikian.

Dalam Islam, pendapatan seorang muslim harus didapat dengan cara halal, yang berarti bahwa semua pendapatan harus diperoleh melalui cara jujur, melalui pekerjaan yang sah menurut hukum Islam, dan sebagian dari pendapatan yang diperoleh secara jujur, harus disisihkan sebagiannya untuk mereka yang membutuhkan untuk memurnikan hartanya.

Agama-agama lain pun memiliki ajaran yang sama.

Bahkan kaum progresif dan humanis sekuler yang atheis atau agnostik atau yang tidak memiliki agama sekalipun, mereka semua percaya dan bersama-sama berusaha membantu mereka yang kurang beruntung. Dan semua sepakat, yang demikian itu adalah tindakan baik dan terpuji.

Sekarang, semua kelompok-kelompok ini bersama-sama bertanggungjawab atas sedikitnya 90 persen populasi dunia. Jadi mengapa begitu sedikit orang yang membantu orang miskin?

Jawabannya memang tidak terlalu sulit untuk dipastikan.

Kebanyakan orang tidak percaya dengan apa yang mereka percayai. Dan setiap orang yang percaya dan yakin dengan kepercayaanya, harus mendorong dirinya dan orang lain untuk mendapatkan sesuatu yang riil, nyata dan harus berhenti menjadi seorang munafik terus menerus.

Namun, memberikan segepok uang atau sejumlah materi bukanlah satu-satunya tindakan murah hati.

Kata-kata yang menyejukkan, sikap baik, atau berempati juga bisa menjadi tindakan amal yang baik dan terpuji, dan murah hati.

Nabi Muhammad saw dan keluarganya yang suci pernah mengatakan, bahkan "seutas senyum adalah amal".

Salah seorang pencari kebenaran pernah berkata, "Jika orang liberal tidak punya uang, dan orang punya uang tapi tidak murah hati, maka saya tidak ingin pernah memiliki banyak uang." Mungkin dia berada di jalan yang benar.

Tapi sekali lagi, milikilah sejumlah uang yang wajar, atau bahkan milikilah banyak uang jika memungkinkan, tapi, berbagi kebaikan dan bermurah hatilah kepada orang miskin dan kepada sesamanya.

Akhirnya, apa pun yang mungkin akan terjadi dan kita jalani, kita semua harus bekerja keras untuk mempertahankan kemurahan hati dan kemanusiaan kita.
READ MORE -

Sabtu, 17 Maret 2012

journal hijau hitam sigli
Keresahan Mahasiswa Era Reformasi
Oleh
Eva Widarti
Mahasiswa. Sembilan huruf yang melegenda dalam perjalanan bangsa Indonesia. Sejarah mencatat perjalanan bangsa Indonesia tidak lepas dari pern mahasiswa yang menjadi pelopor dan penyempurna dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia. Suatu komunitas unik yang sangat khas,karena mereka telah menjajaki kaki nyadalam sejarah perubahan bangsa ini, menjadi garda terdepan dan man motor penggerak perubahan, dengan bekal jiwa militant dan pengorbanan yang tak kenal lelah mempertahankan idealismenya dalam mewujudkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.
Mahasiswa. Dengan potensi yang begitu besar, mereka tidak hanya berperan untuk memenuhi kebutuhan pribadi semata, justru mereka selalu berkontribusi untuk bangsa dan Negara. Mereka mengembankan diri mereka dengan sebuah tanggung jawab yang begitu besar yatu, tanggung jawab moral juga tanggung jawab sosial.
Sejarah juga membuktikan bahwa perubhan besar itu terjadi di tangan generasi muda, mulai dari zaman nabi kolonialisme bahkan sampai ke-era reformasi. Namun, bagaimana dengan dewasa? Mungkin apa yang kit rasakan telah sangat jauh berbeda. Pergerakan mahasiswa pada saat ini tampaknya memiliki perbedaan yang signifikan dengan mahasiswa tahun 1998, yang mempunyai keseragaman visi, yaitu perubahan.
Suara yang mereka gaungkan tidak lagi memiliki kesatu paduan, seperti era 1998, yang ada hanya mahasiswa 4K :
1.      Kampus
2.      Kafe
3.      Kos, dan
4.      Kampong
Saat ini mahsiswa hampir secara keseluruhan anti pergerakan, nti organisasi, bahkan anti perubahan. Sehingga wajar kita katakan, mahasiswa di era modern ini merupakan mahasiswa yang di ibaratkan telah mati suri dan tak tau dimana akan dikuburkan.
Kini, peran mahasiswa sebagai agen perubahan sedikit banyaknya telah ditinggalkan. Banyak kegiatan mahasiswa pada saat ini beroreintasi pada kehiupan hedonism. Amanat dan tanggung jawb yang telah di pegang oleh mahasiswa sebgai kaum terpelajar yang memiliki kemampuan intelektual ditinggalkan begitu saja.
Jika ini terus terjadi, bukan tidak mungkin hal ini akan menyebabkan generasi pengganti atau penerus bangsa akan hilang. Ini semua dikarenakan kegiatan mahasiswa tidak lagi beroreintasi pada rakyat.
Menunggu kembali bangkitnya pergerakan mahasiswa. Bangkit kampusku tercinta, karena perubahan itu masih ada. Dan bangkitnya kampus harus kembali  dimotori oleh yang namanya mahasiswa.
Yakin usaha sampai untuk kemajuan……
Bahagia HMI Ku saying!!!
READ MORE -

Journal Hijau Hitam Sigli: Mahasiswa; AntaraGerakan Moral  Dan Kepentingan Po...

Journal Hijau Hitam Sigli: Mahasiswa; AntaraGerakan Moral  Dan Kepentingan Po...: Mahasiswa; Antara Gerakan Moral  Dan Kepentingan Politik Praktis Oleh Fahmi Ubit Mahasiswa Indonesia menurut intensitas perannya di ...
READ MORE - Journal Hijau Hitam Sigli: Mahasiswa; AntaraGerakan Moral  Dan Kepentingan Po...

Jumat, 16 Maret 2012


Mahasiswa; Antara Gerakan Moral  Dan Kepentingan Politik Praktis
Oleh
Fahmi Ubit
Mahasiswa Indonesia menurut intensitas perannya di dunia politik dihadapkan pada 2 pilihan yakni professionalisme atau activisme. Penganut profesionalisme akan dapat dengan mudah kita temui disetiap penjuru kampus terutama pada mahasiswa-mahasiswa yang relatif mapan,aktifitasnya akan melahirkan mahasiswa-mahasiswa yang selalu berkutat pada persoalan intrakulikuler tak akan jauh berbicara pada persoalan kuliah, riset dan aktivitas akademis lainya dan cenderung kurang peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dilingkungan sosial/masyarakat. Sedangkan untuk mahasiswa tipe activisme, selain berbicara persoalan akademis juga memainkan peran sosialnya, melibatkan diri dalam masalah-masalah strategis politik baik political power maupun political culture.
Keterlibatan mahasiswa dalam percaturan politik tidaklah dapat dihindarkan. Hal ini difahami dalam suatu perspektif, bahwa mahasiswa ”concern” terhadap permasalahan umat dan bangsa guna mewujudkan suatu tatanan kehidupan yang lebih demokratis. Mahasiswa meresponkondisi politik yang ada dari luar struktur atau diluar lembaga politik,gerakan politik seperti ini di kategorikan sebagai pressure politics Kadang ini juga tidak akan berjalan dengan mudah dan segampang yang diperkirakan tetap saja dalam perjalanannya akan menghadapi berbagai hambatan terutama hal yang berkaitan dengan tantangan eksternal terutama persoalan kekuasaan, baik itu perebutan kekuasaan (pengaruh) maupun meraih simpati penguasa. Disini terkadang mahasiswa akan bersifat ambivalen.
Disatu sisi kekuasaan akan dapat merealisir gagasan yang dimiliki serta pandangan yang ada, disisi lain kekuasan cenderung mengekang kebebasan terutama yang bersifat vasted interst. Sedangkan penguasa disatu sisi akan dapat memberikan suport pada aktivitas yang dilakukan mahasiswa namun terkadang juga dapat dengan leluasa melakukan intervensi terhadap gerakan–gerakan mahasiswadengan mudah. Kondisi seperti inilah yang akan membuat dilematis dalam perjalanan pergerakan mahasiswa yang ada. Bagaimana memposisikan diri dalam lingkungan kekuasaan atau diluar lingkaran kekuasaan. Menurut teori David McClelland, menyebutkan ada 3 keinginan atau hasrat seseorang yaitu pertama, need for achievment (keinginan untuk berprestasi). Kedua, need for affiliation(keinginan untuk popular dan disenangi banyak orang) dan ketiga , need for power (keinginan untuk berkuasa) hal terakhir inilah yang kadang banyak menjadi perhatian sebagian  ”pejuang-pejuang” mahasiswa yang tentunya akan menyamarkan arah gerak perjuangan dari pergerakan mahasiswa belakangan ini.
Seharusnya moral force yang diusung mahasiswa tidak boleh terkontaminasi dengan urusan-urusan kekuasaan dan politik kepentingan lainnya selain untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas, rakyat. Lebih naifnya lagi jika memperebutkan atau berdekatan dengan kekuasaan hanya untuk memenuhi kepuasaan pribadi seperti mencari benefit secara individu ”Dengan motto mumpung ada kesempatan kapan lagi?” . ironis sekali memang ika nilai luhur yang melekat pada mahasiswa berupa idealisme harus tergadaikan dengan rupiah bahkan mungkin diobral murah, terjebak dalam frame berfikir pragmatisme dan oportunisme.
Serta yang sangat disayangkan lagi ada gerakan-gerakan segelintir mahasiswa yang berkedok gerakan moral dengan berafiliasi pada kekuatan atau partai politik tertentu. Jelas-jelas hal tersebut sebagai ambisi semata yang mempergunakan mahasiswa sebagai komoditi menarik massa simpatisan dengan menafikkan independensi mahasiswa itu sendiri,sedangkan partai politik tersebut hanya digunakan oleh oknum mahasiswa sebagai kendaraan untuk memperoleh kekuasaan. Apapun bentuk perjuangan yang telah teralienasi menjadi underbow kekuatan politik tertentu akan menyebabkan perpendaranarah gerak serta konsistensi terhadap socialmovement-nya akan dipertanyakan. Jika hal ini terus menerus berkembang maka gerakan mahasiswa akan ternodai, lama-kelamaan tidak akan mendapat respons positif dari masyarakat dan menjadi preseden buruk bagi pergerakan mahasiswa lainnya. Sangat disayangkan jika gerakan yang mulanya bertujuan untuk masyarakat harus kehilangan simpati dan dinilai bukan lagi gerakan moral berdasarkan hati nurani namun berdasarkan ambisi kepentingan pribadi hanya ulah oknum-oknum mahasiswa. Untuk itu perlunya rekonstruksi kesadaran akan nilai-nilai idealisme dan independensi dalam setiap gerakan mahasiswa yang diletakkan sebagai basis kekuatan utama untuk menghadapi tantangan yang lebih global. Dengan begitu mahasiswa akan tetap menjadi pelopor perubahan ” agent of change” dimanapun berada.

Biodata Penulis:
Nama                                       : Zulfahmi Ubit
NIK                                         : 1107162706900006
Tempat/Tgl Lahir                      : Ulee Tutue/27 Juni 1990
Jenis Kelamin                           : Laki-Laki
Alamat                                     : Keulibeut Ulee Tutue Kec. Pidie. Kab. Pidie
Agama                                     : Islam
Pekerjaan                                 :Mahasiswa/Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Sigli

READ MORE -
Template by : kendhin x-template.blogspot.com